Perkembangan Pembelajaran Bahasa Arab

 

A. Perkembangan Pembelajaran Bahasa Arab di Dunia Islam

Bahasa Arab adalah salah satu bahasa tertua di dunia. Ada beberapa teori yang menjelaskan tentang awal mula munculnya bahasa Arab. Teori pertama menyebutkan bahwa manusia pertama yang melafalkan bahasa Arab adalah Nabi Adam'alaihissalâm-. Analisa yang digunakan Nabi Adam 'Alaihissalam (sebelum turun ke bumi) adalah penduduk surga, dan dalam suatu riwayat dikatakan bahwa bahasa penduduk surga adalah bahasa Arab, maka secara otomatis bahasa yang digunakan oleh Nabi Adam 'Alaihissalam adalah bahasa Arab dan tentunya anak-anak keturunan Nabi Adam 'Alaihissalam pun menggunakan bahasa Arab. Setelah jumlah keturunan Nabi Adam 'Aalaihissalam bertambah banyak dan tersebar ke berbagai tempat, bahasa Arab yang digunakan saat itu- berkembang menjadi jutaan bahasa yang berbeda. Berbicara tentang bahasa Arab dalam konteks sejarah tidak bisa lepas dari perjalanan penyebaran agama Islam. Begitu pula sebaliknya, mengkaji tentang Islam berarti pula mempelajari bahasa Arab sebagai syarat wajib untuk menguasai isi kandungan Al-Qur'an dan Al-Hadis sebagai sumber utama agama Islam.


Menurut pendapat ahli bahasa, bahasa Arab adalah merupakan salah satu rumpun bahasa Semit selatan. sedangkan bahasa Semit adalah bahasa yang dipakai oleh keturunan Nabi Nuh. Sebelum kita sampai pada pengertian bahasa Semit, penulis akan mengutip sebuah perkataan Ibnu Katsir yang mengatakan bahwa seluruh bani adam di bumi berasal dari 3 anak Nabi Nuh AS  yang tersisa yakni Yafits, Sam dan Ham (adapun Kan’an meninggal dalam bahtera banjir).  Kemudian Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Sam adalah bapak orang Arab, Ham adalah bapak orang Habsyi, dan Yafits adalah bapak orang Romawi.”

 

Sejarah mencatat bahwa bahasa Arab mulai menyebar ke luar jazirah Arabia sejak abad ke-1 H atau abad ke-7 M, kemanapun mengikuti gerak penyebaran Islam. Hingga pada masa khilafah Islamiyah, bahasa Arab menjadi bahasa resmi yang dipergunakan untuk sosialisasi agama, budaya, dan ilmu pengetahuan. Posisi strategis yang dimiliki bahasa Arab ini mengungguli semua bahasa yang pernah ada sebelumnya, seperti bahasa Yunani, Persia, dan lain sebagainya.

Selanjutnya bahasa Arab mengalami perkembangan yang terdiri dari beberapa periode, antara lain :

 

  • Periode Jahiliyah, munculnya standarisari nilai-nilai pembentukan bahasa Arab fusha, dengan adanya beberapa kegiatan yang telah menjadi tradisi masyarakat Makah, berupa seringnya melagukan syair-syair Arab  sehingga mendorong tersiar dan meluasnya bahasa Arab, yang pada akhirnya kegiatan tersebut dapat membentuk standarisasi bahasa Arab fusha dan kesusasteraannya.
  • Periode Permulaan Islam, turunnya Al-Quran dengan membawa kosa-kata baru dengan jumlah luar biasa banyaknya menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa yang sempurna baik dalam kosa-kata, makna, gramatikal dan ilmu lainnya. Hingga perluasan wilayah-wilayah kekuasaan Islam sampai berdirinya Daulah Umayah. Setelah berkembang kekuasaan Islam, orang-orang Islam Arab pindah ke negeri baru, sampai masa Khulafaur Rasyidin.
  • Periode Bani Umayah, terjadinya percampuran orang-orang Arab dengan penduduk asli. Adanya upaya-upaya orang Arab untuk menyebarkan bahasa Arab ke wilayah wilayah. Melakukan Arabisasi dalam berbagai kehidupan, sehingga penduduk asli mempelajari bahasa Arab sebagai bahasa agama dan pergaulan.
  • Periode Bani Abasiyah, pemerintahan Abasiyah berprinsip bahwa kejayaan pemerintahannya sangat tergantung kepada kemajuan agama Islam dan bahasa Arab, kemajuan agama Islam dipertahankan dengan melakukan pembedahan Al-Quran terhadap cabang-cabang disiplin ilmu pengetahuan baik ilmu agama ataupun ilmu pengetahuan lainnya. Pada abad ke-4 H bahasa Arab fusha menjadi bahasa tulisan untuk keperluan administrasi, kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan bahas Arab mulai dipelajari melalui buku-buku, sehingga bahasa fusha berkembang dan meluas.
  • Periode Sesudah Abad ke-5 H, bahasa Arab tidak lagi menjadi bahasa politik dan administrasi pemerintahan, tetapi hanya menjadi bahasa agama. Hal ini terjadi setelah dunia Arab terpecah dan diperintah oleh penguasa politik non Arab (Bani Saljuk), yang mendeklarasikan bahasa Persia sebagai bahasa resmi negara Islam dibagian timur, sementara Turki Usmani (Khilafah Ustmani) yang menguasai dunia Arab yang lainnya, malah mendeklarasikan bahwa bahasa Turki sebagai bahasa administrasi pemerintahan.

 

Diturunkannya al-Qur'an dengan bahasa Arab menandai terjadinya revolusi fungsi pembelajaran bahasa Arab. Paska diturunkannya al-Qur'an, dorongan untuk mempelajari bahasa Arab lebih dikarenakan faktor agama daripada faktor-faktor lainnya (ekonomi, politik dan sastra). Bahkan bisa dikatakan bahwa perkembangan bahasa Arab berbanding lurus dengan penyebaran agama Islam. Adapun penulisan huruf Arab telah dimulai jauh lebih dulu dari pada turunnya al-Qur`an. Namun saat itu huruf Arab belum mengenal titik dan harakat, sehingga paska meninggalnya Rasulullah  dan beberapa sahabat, mulai muncul kesalahan dalam membaca beberapa kata dalam al-Qur'an. Untuk menghilangakan kesalahan tersebut maka dibuatlah titik dan harakat. Orang pertama yang menuliskan titik dan harakat pada bahasa Arab adalah Abu al-Aswad Ad-Duali.  Selain memprakarsai penulisan titik dan harakat, Abu al-Aswad ad-Duali juga menjadi pioner dalam penyusunan ilmu Nahwu. Tetapi, Teori ilmu Nahwu baru dikembangkan secara komprehensif oleh Khalil bin Ahmad al-Farahidi (100-175 H) yang juga merupakan perintis ilmu yang mempelajari tentang wazan dan qofiyah. Khalil bin Ahmad al-Farahidi dikenal sangat menguasai logika Aristoteles, dengan demikian, teori-teorinya sangat dipengaruhi oleh filsafat. Ia berusaha menguraikan fenomena-fenomena kebahasaan dengan perspektif filsafat, salah satunya adalah pemikiran kausalitas (sababiyyah). Dalam pandangan ini, segala sesuatu yang “ada” di muka bumi ini mengharuskan “pengada”. Begitu pula dengan fenomena perubahan akhir kata atau i’râb, mengharuskan ada sesuatu “yang menyebabkan” hal itu terjadi. Maka Khalil menamakan penyebab itu dengan ‘âmil (yang berbuat) (‘Alamah, 1993:37-38). Upaya yang dilakukan al-Farahidi diteruskan oleh muridnya yang bernama Sibawaih. Dia telah berhasil menyerap semua pemikiran Khalil dan mengembangkannya secara lebih luas dan mendalam dan menuangkannya dalam sebuat buku yang diberi judul al-Kitab (??????) yang sangat dikagumi oleh masyarakat pemerhati nahwu pada masa itu, sehingga mereka menyebut buku al-Kitab sebagai: “Qur`annya nahwu”. Buku ini benar-benar mencakup semua persoalan nahwu secara menyeluruh, sehingga tidak ada satu masalah pun dalam nahwu yang tidak dibahas.

 

B. Perkembangan Pembelajaran Bahasa Arab di Indonesia


1. Bahasa Arab Sebagai Bahasa Agama Verbal

Sebagai simbol ekspresi linguistik ajaran Islam, pembelajaran bahasa Arab yang pertama di Indonesia adalah untuk memenuhi kebutuhan seorang muslim dalam menunaikan ibadah ritual, khususnya ibadah shalat. Sesuai dengan kebutuhan tersebut, materi yang diajarkan hanya terbatas pada doa-doa shalat dan surat-surat pendek al-Qur'an yang lazim dikenal dengan juz 'amma. Metode yang lazim digunakan ialah metode abjadiyah (alphabetical method) yang terkenal dengan nama metode baghdadiyah. Metode ini menekankan pada kemampuan membaca huruf-huruf al-Qur'an (al-huruf al-hija'iyah) yang dimulai dari: (a) penyebutan huruf dengan namanya satu persatu dari alif samapai ya' secara abjad sampai murid hafal nama-nama huruf tersebut secara terpisah atau satu persatu, kemudian (b) diajarkan kata-kata yang terdiri dari dua huruf , lalu tiga huruf, dan begitu seterusnya yang diberikan secara bertahap, kemudian meningkat pada (c) pengajaran harakat, dimulai dengan menyebutkan huruf yang disertai dengan nama harakatnya.

 

2. Bahasa Arab Sebagai Media Memahami Agama

Seiring dengan berkembangnya waktu, metode dan pola pembelajaran yang pertama di atas mulai mengalami pergeseran dan perkembangan ke arah yang lebih bermakna. Pembelajaran bahasa Arab verbalistik sebagai mana di atas tidak cukup, karena al-Qur'an tidak hanya untuk dibaca sebagai sarana ibadah, melainkan juga sebagai pedoman hidup yang harus dipahami maknanya dan diamalkan ajaran-ajarannya. Oleh karena itu, muncullah pembelajaran bahasa Arab dalam bentuk kedua dengan tujuan mendalami ajaran agama Islam.

 

Pembelajaran bahasa Arab bentuk kedua ini tumbuh dan berkembang di berbagai pondok pesantren salaf. Materi yang diajarkan mencakup fikih, aqidah, akhlaq, hadits, tafsir, dan ilmu-ilmu bahasa rab seperti nahwu, sharaf, dan balaghah dengan buku teks berbahasa Arab yang ditulis oleh para ulama dari berbagai abad di masa lalu. Metode pembelajaran yang digunakan adalah metode gramatika-tarjamah (thariqah al-qawa'id wa al-tarjamah) dengan teknik penyajian yang masih relatif tradisional, di mana guru (Kiai) dan para murid (santri) masing-masing memegang buku (kitab). Guru membaca dan mengartikan kata demi kata atau kalimat demi kalimat ke dalam bahasa daerah khas pesantren yang telah didekatkan kepada sensivitas bahasa Arab. Sedangkan tata bahasa (qawa'id) bahasa Arab diselipkan ke dalam kata-kata tertentu sebagai simbol yang menunjukkan fungsi suatu kata dalam kalimat. Santri hanya mencatat arti setiap kata atau kalimat Arab yang diucapkan artinya oleh guru, tanpa adanya interaksi verbal yang aktif dan produktif antara kiai dan santrinya.

 

3. Bahasa Arab Sebagai Media Komunikasi

Meski pola pembelajaran bahasa Arab dalam bentuk kedua di atas sangat dominan berlaku di berbagai pondok pesantren salaf hingga kini, dan diakui kontribusinya dalam memberikan pemahaman umat Islam Indonesia terhadap ajaran agamanya, namun tuntutan dunia komunikasi pada gilirannya menggiring perubahan baru pola peembelajaran bahasa Arab. Interaksi antar bangsa menuntut umat Islam untuk tidak sekedar memiliki kemampuan berbahasa Arab reseptif (pasif), tetapi kemampuan berbahasa yang lebih aktif dan produktif. Semangat pembaruan ini diperkuat dengan munculnya para cendikiawan dan intelektual muda muslim dengan nuansa pemikiran yang segar, sekembali mereka dari menuntut ilmu di negeri pusat-pusat pendidikan di Timur Tengah, terutama Mesir.

 

Pada masa inilah metode langsung (Al-Thariqah Al-Mubasyirah) mulai diterapkan dalam pembelajaran bahasa Arab di Indonesia. Pengajaran bahasa Arab bentuk ketiga ini terdapat di berbagai pondok pesantren atau lembaga pendidikan Islam modern sejak awal abad ke-19.Seperti yang ada di pondok gontor. Dalam sistem pengajaran bentuk ketiga ini, pelajaran agama pada tahun pertama diberikan sebagai dasar saja dengan menggunakan bahasa Indonesia. Sementara itu, sebagaian besar perhatian siswa dicurahkan kepada pelajaran bahasa Arab dengan metode langsung. Pada tahun kedua, ilmu tata bahasa Arab (nahwu-sharaf) mulai diberikan dalam bahasa Arab dengan metode induktif (Al-Thariqah Al-Istiqra'iyah), ditambah dengan latihan intensif qira'ah (reading), insya' (writing), dan muhadatsah (speaking/conversation). Pelajaran agama juga disajikan dalam bahasa Arab. Dalam masa belajar enam tahun (pasca sekolah dasar), seorang lulusan perguruan Islam modern ini  telah mampu berkomunikasi dengan bahasa Arab secara lisan dan tulis, serta mampu membaca buku berbahasa Arab dalam berbagai subyek pengetahuan.

 

Dalam perkembangannya, pembelajaran bahasa Arab di perguruan Islam modern ini tidak hanya menggunakan metode langsung tapi mengikuti pembaruan-pembaruan yang terjadi di dunia pembelajaran bahasa, misalnya metode listening dan speaking (al-thariqah al-sam'iyah al-syafawiyah) dan pendekatan komunikatif (al-thariqah al-itthishaliyah).